Electronic Resource
PROBLEMATIKA KEPEMIMPINAN PEREMPUAN PERSPEKTIF MUFASSIR NUSANTARA
Fenomena yang terjadi di Nusantara pada Era-Modern seperti saat ini, perempuan telah tampil menjadi “Pemimpin” baik dalam ranah Domestik dan Publik. Sehingga hal ini menjadi sebuah problematika tersendiri sebab mereka menuntut adanya kesetaraan Gender. Sehingga, hal ini terjadi Inner Contradiction antara cita-cita syariah dengan fenomena yang terjadi di masyarakat Nusantara.
Berdasarkan permasalahan di atas, menjadi daya tarik tersendiri bagi peneliti untuk mengeksplorasi pemikiran Mufassir Nusantara terkait dengan “Problematika Kepemimpinan Perempuan Ranah Domestik dan Publik” beserta mencari persamaan dan perbedaan diantara penafsiran mereka. Tujuan dari penelitian ini sebagai transformasi keilmuan Islam Nusantara agar tetap bersinar sehingga dapat memberikan sumbangsih terhadap pemikiran Islam terkait dengan ke-Nusantaraan dan bagi warga Nusantara terkait dengan permasalahan tersebut.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, digunakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber (data) primer. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu “Metode Deskriptif-Analisis” dengan tehnik mengumpulkan dan menggambarkan data serta memberikan interpretasi terhadap sebuah permasalahan. Selain itu, penelitian ini menggunakan “Metode Komparasi” dengan tehnik mencari perbedaan dan persamaan antara pandangan mufassir yang satu dengan yang lainnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa penafsiran Mufassir Nusantara berkaitan dengan kepemimpinan perempuan dalam ranah Domestik yaitu tidak memberikan ruang sedikitpun bagi perempuan untuk menjadi pemimpin dalam ranah domestik. Sehingga istilah “Kepemimpinan Perempuan” menjadi Problematika tersendiri dalam penafsiran ini sebab perempuan bukanlah pemimpin. Sedangkan, penafsiran Mufassir Nusantara berkaitan dengan kepemimpinan publik cenderung longgar. Sehingga perempuan mendapat ruang gerak untuk menjadi pemimpin publik. Namun, menjadikan ayat yang berkaitan “Kisah Ratu Balqis” timbul problem dikalangan mereka. Imam Nawa>wi> cenderung tidak menentukan hukum akan kebolehan menggunkan ayat tersebut sebagai dalil kebolehan perempuan menjadi pemimpin publik, sedangkan Hamka memperbolehkan “kisah” tersebut sebagai dalil akan kebolehan perempuan menjadi pemimpin sesuai dengan kriteria kepemimpinan Balqis, sedangkan Quraisy Syiha>b, tidak memperbolehkan “Kisah Kepemimpinan Balqis” dijadikan sebagai landasan hukum akan kebolehan perempuan menjadi pemimpin dalam ruang lingkup publik. Dan untuk relevansi penafsiran Mufassir Nusantara tentang kepemimpinan perempuan sangat singkron dengan realita kepemimpinan perempuan di Nusantara baik domestik dan publik.
141100010 | Perpustakaan Universitas Nurul Jadid | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Koleksi Digital |
Tidak tersedia versi lain